Kamis, 24 Januari 2008

RUMAH MAKAN JAWA DI DISTRIK ZAHIR MEKKAH



Distrik Zahir jaraknya kira-kira 10 km dari Masjidil Haram. Di distrik ini terdapat villa-villa tempat peristirahatan kalangan "The Have" warga Saudi. Namun tulisan ini tidak untuk mengulas hal itu. Tulisan ini ingin mengomentari tentang sebuah Rumah Makan yang ada di salah satu sisi ruas jalannya.

Plang Neon box empat persegi panjang berwarna merah terpampang gagah di atasnya. Plangnya bertuliskan "Math'am Jaawaa Lil ma'kuulaat al Induuniisiyyah". Rumah makan Jawa Khas Makanan Indonesia. Di sampingnya bertuliskan "Warteg" alias Warung Tegal. Siapapun orang Indonesia yang membacanya pasti langsung "nyambung" dengan istilah tersebut.

Saya bersama beberapa teman jamaah lainnya hampir setiap hari mampir ke warung makan tersebut. Pengelola dan pelayannya ternyata berasal dari Pemalang, oleh karena itu masakannya 100% khas Indonesia. Ada sayur lodeh, tempe-tahu goreng, soto ayam, sop kaki kambing, nasi rames, gado-gado, bahkan juga tersedia Mie Ayam dan Bakso. Makan di warung ini serasa di negeri sendiri, bercengkrama dengan sesama pengunjung yang kebanyakan warga Indonesia.

Yang ingin penulis soroti sebenarnya bukan warung makan dan menu masakannya. Tetapi yang menarik bagi penulis adalah warung tersebut dan seluruh warung dan toko yang ada setiap kali datang kumandang adzan sholat, mereka segera berkemas-kemas menutup sementara warung dan tokonya untuk berangkat ke Masjid menunaikan shalat berjamaah. Waktu untuk mengejar shalat berjamaah lebih dari cukup, karena antara adzan dan iqomah berjarak 15 menit, kecuali Subuh 20 menit. Hal itu berlaku di seluruh masjid di Saudi Arabia, barangkali hal itu dimaksudkan agar semakin banyak orang yang mendapatkan jamaah shalatnya.

Menutup warung dan toko sementara untuk shalat tidak bisa ditawar-tawar lagi. Penulis pernah dengan beberapa teman hendak makan malam, karena sudah menjelang Isya mereka berkemas-kemas menutup warungnya, "maaf nanti saja pak makannya setelah shalat Isya", cetus salah seorang pelayannya kepada kami. Hal ini ternyata sudah menjadi budaya relijius islami masyarakat Saudi. Bahkan setiap tiba waktu shalat ada patroli polisi yang mengingatkan agar warga masyarakat terutama pemilik toko untuk meninggalkan sementara aktifitas jual belinya untuk memenuhi panggilan shalat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :

فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

9. Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS Al-Jumuah : 9)


Rata-rata warga masarakat Saudi khusunya yang kami sakiskan di distrk Zahir ini, selalu antusias melangkahkan kakinya menuju masjid manakala kumandang adzan terdengar. Hal ini besar kemungkinan karena mereka memahami fadilah dan keutamaan mengayunkan langkah kaki ke masjid. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ بِأَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ وَأَتَى الْمَسْجِدَ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ وَلَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خُطْوَةً إِلَّا رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَتْ الصَّلَاةُ هِيَ تَحْبِسُهُ وَالْمَلَائِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ وَيَقُولُونَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ أَوْ يُحْدِثْ فِيهِ (رواه ابو داود)

Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Shalatnya seseorang dengan berjamaah, lebih utama daripada shalat di rumah dan kamarnya, dengan selisih dua puluh lima derajat. Yang demikian itu bahwasanya salah seorang di antara kalian apabila berwudhu, dan Ia memperbagus wudhunya. Lalu Ia datang ke Masjid dengan tujuan tidak lain untuk shalat, maka tidaklah Ia melangkah satu langkah melainkan diangkat untuknya satu derajat dan dihapus darinya satu dosa sampai Ia masuk ke dalam Masjid. Apabila telah masuk ke dalam Masjid, maka Ia terhitung dalam keadaan Shalat, sepanjang Ia terikat dengan sahalat tersebut. Juga para Malaikat mendoakan salah seorang kalian selama Ia berada di majlis (dalam masjid) dimana Ia mendirikan shalat seraya berkata : “Ya Allah Ampunilah dirinya, rahmatilah dirinya, dan terimalah taubatnya sepanjang Ia tidak berbuat aniaya dan hadats di dalamnya (HR Abu Daud)

Akankah suasana religius seperti itu dapat diwujudkan di Indonesia? Terwujud atau tidaknya sebenarnya tergantung dengan sejauh mana ayat dan hadits tersebut di atas disadari dengan baik oleh umat Islam di Indonesia. Atau haruskah diperlukan adanya perda yang mewajibkan umat Islam shalat setiap kumandang adzan dengan meninggalkan kesibukannya untuk sementara. Hanya saja perda semacam itu seringkali dituding bahwa negara terlalu intervensi mencampuri urusan privacy seseorang. Capek deh!

Tidak ada komentar: